Kertasku masih kosong, melompong. Tak ada satu pun huruf
dari 26 huruf yang ada, tertoreh di atasnya. Otak menyajikan begitu banyak
kata. Tapi tiada satu pun kupilih untuk kutuliskan di kertas kosongku.
Entahlah, mungkin aku bingung. Atau mungkin aku terlalu pemilih? Begitu ucap
pena yang sedaritadi kuketuk-ketukan kepalanya di meja belajarku.
Tak kutemukan alasan yang tepat memilih dan menyusun 26
huruf dari rangkaian alfabet yang ada untuk dijadikan kata dan kurajut menjadi
sebuah kalimat indah.
“Dasar munafik!”, teriak cangkir putih agak kusam padaku.
“Aku tidak munafik!”, balasku.
“Pembohong besar!”, kopi hitam panas yang berada di dalam
cangkir itu pun ikut meneriakiku.
“Kalau kamu tak
munafik, kalau kamu bukan pembohong tentu aku takkan kosong seperti ini!”,
kertas yang daritadi kupandangi pun bersuara.
Kemudian kuangkat penaku dan kugoreskan sesuatu di atas kertas
kosongku, mereka bersorak. Gaduh.
‘K-A-M-U’. Ya, kupilih empat huruf itu di awal tulisanku.
Otak kemudian membuka layar putihnya dan memutarkan potongan-potongan kenangan
yang pernah kita adegankan dulu.
Mataku mulai berkabut, lalu kudengar suara terbahak. Kertas,
pena, kopi dan cangkir sedang menertawaiku, bahkan pasangan kopi dan cangkir
sampai memegangi perut mereka saking kegelian melihatku menangis.
Pada akhirnya kertas itu hanya berisi K-A-M-U. Ya, hanya
kata itu yang bisa kutulis. Tiada kata lain yang bisa kutorehkan diatasnya.
Kamu memang tak mudah dijabarkan ke dalam sebuah kalimat.
Bukan. Maksudku kerinduanku yang terlalu sulit dijabarkan. Bukan. Gengsiku yang
susah dijabarkan. Baiklah, kuralat lagi. Gengsiku menghalangi kerinduan yang
teramat sangat ini; yang kukamuflasekan dengan kata sulit dijabarkan. Ah, aku
bingung.
Mereka benar. Aku bingung. Aku munafik. Aku pembohong besar.
1 comment:
Bagus, saya suka. Lanjutkan menulisnya.
Post a Comment