Di sela-sela membuat laporan kantor, saya buka folder-folder lama dan menemukan tulisan ini. Isi kepala saya setahun yang lalu.
Silakan dibaca.
Saya peringatkan dulu, yang ambil bagian paling besar dalam tulisan ini adalah ego saya. Jadi, ya, jika apa yang saya tulis ini menurut kamu keliru, tidak benar, bahkan salah besar—you named it, saya tidak akan minta maaf, sih. Karena ini, kan, pendapat saya. Ehehehe.
Beberapa hari yang lalu saya chatting dengan seorang teman lama. Saya ceritakan dulu “hubungan” pertemanan kami. Sebagai seseorang yang hidup dan besar di zaman internet, mendapatkan teman sepertinya tidak sulit. Bermodal suka pada satu klub bola yang sama, saya sudah bisa punya bahkan lebih dari satu orang teman. Seperti itulah awal pertemanan kami.
Dari yang hanya ada di satu grup Whatsapp yang sama—yang mana hanya membahas hal yang kami suka; klub bola yang sama, lalu kami mulai membahas hal lain. Dan topik paling mudah membuat dua manusia bisa punya obrolan yang menyenangkan adalah tentang cinta.
Long story short, setelah cukup lama tidak berkomunikasi karena kesibukan masing-masing, beberapa hari yang lalu kami berkomunikasi lagi melalui Whatsapp. Cukup banyak yang kami bahas, hingga ada di satu titik dia membuat saya berpikir dengan salah satu kalimatnya.
Dia bilang bahwa dia ingin menikah di umur 27 tahun—sekarang umurnya (masih) 24 tahun by the way. Di “sisa” waktu yang dia punya; sekitar 2 sampai 3 tahun lagi, dia ingin menemukan seseorang yang nanti akan jadi pasangannya berdiri di depan altar. Dia tidak ingin buang-buang waktu apalagi main-main.
Saya lalu jadi kepikiran sendiri. Gila, manusia-manusia seumuran gue udah pada sibuk menata “masa depan”. Sudah mulai gelisah karena (mungkin) sudah dikejar-kejar waktu—atau umur.
Lalu saya lihat sekeliling. Baiklah, yang saya lihat hanya bukit-bukit tanah dan lubang bekas galian batu bara. Akhirnya saya pindah, saya lihat di media sosial. Apa yang saya temukan adalah foto pasangan sedang tertawa di atas ranjang. Atau foto seorang laki-laki yang sedang memijat kaki—yang saya tau itu kaki istrinya yang sedang hamil. Atau foto satu keluarga dengan ayah, ibu dan seorang anak.
Rata-rata orang seumuran saya sudah menikah—bahkan sudah atau akan punya anak. Sedang saya masih begini-begini saja. Boro-boro menikah, punya pacar saja tidak, Kawan. Oke, saya mulai curhat colongan.
Membahas pernikahan, saya adalah salah satu orang yang skeptis—mungkin juga sinis memandang pernikahan. Menurut saya menikah itu bukan hal yang mudah. Asal punya pacar (dan duit), dan pacar lo mau nikahin lo, ya, udah, berangkat. O, jangan lupa restu orangtua (dan keluarga besar). O, satu lagi, harus seiman dan dari suku yang sama. Tapi jangan lupa dia juga harus punya pekerjaan mapan, minimal PNS, lah, biar hidupmu terjamin. Oke, saya sudah mulai nyinyir.
Kembali lagi. Saya adalah orang yang skeptis—sekaligus sinis memandang pernikahan. Memutuskan untuk menikah bukan hal yang mudah. Menikah bukan hanya agar kamu dapat berhubungan seks dengan legal. Menikah bukan hanya agar bebas dari pertanyaan “kapan nikah?” ketika berkumpul di acara keluarga atau “kapan nyusul?” di acara pesta pernikahan kerabat yang kamu datangi; dan akhirnya kamu juga bisa bergabung dalam paguyuban penanya pertanyaan kampret itu pada mereka yang belum menikah. Dengan tujuan balas dendam. Menikah bukan hanya agar bisa posting foto atau update status ”Malam minggu sama suami (dan anak), nich. Maav, yach jomblo… hihihi…”
Menurut saya yang mungkin sangat minim pengalaman di dunia percintaan ini, menikah itu harus dipikirkan matang-matang. Menikah itu bukan hanya sehari dua hari seperti karya wisata sekolah. Menikah bukan seperti gula-gula yang selalu manis tiap saat. Jika ada di antara kamu yang sudah menikah dan merasakan apa yang saya tulis, maka bersyukurlah pada Tuhan karena hidupmu begitu beruntung.
Bagaimana bisa dua orang manusia sepakat hidup bersama selamanya dengan alasan cinta. Maksud saya, seyakin itukah? Tanggung jawab seorang manusia yang sudah menikah itu berat, loh. Kamu tidak bisa lagi flirting. Tidak bisa lagi main one night stand sama orang-orang yang kamu anggap menarik.
(((One night stand)))
Menikah itu artinya ada satu orang yang akan terus kamu lihat saat kamu buka mata hingga nanti matamu terpejam kembali. Ya, kecuali kalian LDR, sih. Dan ingat, itu selamanya.
Menikah itu berarti akan ada saat-saat kamu bersenang-senang dengan teman-teman dibatasi. Menikah itu harus siap dengan segala “tanggungan-tanggungan” hidup. Misal beli rumah, menabung untuk masa depan, punya kendaraan.
Tidak bisa bohong, jika rumah, minimal kendaraan jadi “tolok ukur” kesuksesan (pasangan) kita. Siapa, sih, yang tidak senang bila diantar arisan oleh suaminya dengan mobil pribadi? Arisan, kan, ajang pamer. Pamer sepatu, pamer gawai, pamer baju, pamer anak, pamer suami—Pamer kehidupan (palsu). Masa rambut yang udah di-blow mateng rusak karena helm? Punya mobil adalah salah satu tanda kamu sudah "sukses". Meski orang tidak tahu, di tiap tarikan mobilmu itu ada cicilan yang harus dibayar tiap bulan.
Belum lagi dengan rumah. Menurut saya ini adalah hal paling fundamental dalam sebuah pernikahan; selain cinta, kasih sayang, kesetiaan bla bla bla. Jika ada yang bilang, “kan, bisa tinggal sama orangtua,” saya hanya bisa bengong, sih. Memutuskan untuk menikah dan tidak menyiapkan minimal kontrakan untuk kalian tinggali adalah hal paling kekanak-kanakan yang saya dengar.
Menurut saya, pernikahan itu tidak akan selamanya kita lewati dengan mulus seperti jalan-jalan di pulau Jawa. Pulau selain Jawa, nggak tau, deh, ya, gimana.
Akan ada saat-saat di mana kamu dan pasanganmu berselisih paham, beradu argumen, di kasus ekstrim ada yang sampai lempar-lemparan barang. Dan menurut saya, tidak elok rasanya jika hal tadi jadi tontonan orang—meski orangtua sendiri.
Belum lagi dengan orangtua-orangtua yang masih suka “ikut campur” urusan anaknya. Ada beberapa kasus yang bahkan sang ibu berselisih dengan menantu tentang apa yang akan dimakan anaknya.
Jika memang memilih tinggal dengan orangtua, mau sampai kapan?
Menikah itu harus diputuskan secara sadar. Banyak faktor yang membuat saya berpikir tentang menikah. Buat saya pribadi, menikah harus dengan orang yang punya visi dan misi yang sama.
Bersama seseorang dengan pandangan hidup yang sama akan memudahkan kita menjalani hidup ini. Kita tidak perlu direpotkan dengan urusan menjelaskan ini dan itu, menerangkan tetek bengek rincian bagaimana menjalakan visi misi tadi. Dengan punya satu pandangan yang sama, yang kita lakukan hanya tinggal merealisasikannya. Bila dulu sendirian, kini sudah ada partner.
Menikahi orang dengan tujuan dan pandangan hidup berbeda akan merepotkan kita. Jika memang nantinya kalian menemukan titik temu bagaimana menjalani hidup dengan padangan beda kalian, ya, selamat. Namun, bagaimana jika tidak? Sudah siap cekcok tiap hari?
Menikah harus punya kesiapan. Siap mental tapi tidak siap finansial itu percuma. Siap finansial tapi tidak siap mental juga sama saja. Belum lagi kita tinggal di negara di mana yang satu menikah, yang lain harus banget ikut ambil bagian. Minimal di bagian kasih-kasih nasihat, lah. Nah, bagian ini butuh mental—atau kuping yang lebih tebal lagi agar tidak cepat naik darah.
Menikah harus dilandasi dengan kejujuran. Ini mungkin sedikit prinsipiel, tapi jika kelak saya akan menikahi seseorang, saya ingin dia tau hal-hal paling gulita dalam hidup saya. Saya tidak ingin ada rasa dibohongi apalagi menyesal di belakang. Hubungan yang didasari kejujuran, saya yakin akan punya pondasi yang kokoh untuk membuat dua manusia ini tetap berada di satu rumah yang sama.
Menikah juga tidak akan jauh-jauh dari punya anak—meski tetap saja ini juga pilihan. Ah, kalau masalah ini di bahas juga, akan panjang sekali rasanya. Kita bahas kapan-kapan saja, deh.
Bila ditanya apakah saya ingin menikah, tentu dengan yakin saya akan menjawab "Ya". Namun bila ditanya apakah saya siap untuk menikah, saya akan jawab: mau bayarin, nggak?
Saya terima “Ah, belum pernah ngerasain aja sok-sok ngomong lo,”
Saya terima “Ah, belum pernah ngerasain aja sok-sok ngomong lo,”
Sekian dan terima kasih.
No comments:
Post a Comment