March 9, 2020

Tentang Menulis


Menulis tidak semudah dulu. Saat otak saya sedang bekerja dengan baik, dalam sehari saya bisa menghasilkan tiga tulisan. Entah itu cerpen, monolog, atau puisi.
Saya bisa dengan sangat rajin menulis di blog. Terlebih saat awal-awal kuliah dulu. Meski di saat itu blog saya bagai sebuah buku harian abege. Apapun yang saya rasakan akan segera saya tulis.

Meski terkesan asal-asalan dan tidak terkonsep—isi blog saya sekarang masih tidak berkonsep, namun tulisan saya zaman itu terasa betul kejujurannya. Bagaimana rasa kesal ketika hari-hari saya hanya diisi dengan membuat laporan. Bagaimana malu-malu ketika bertemu orang yang disuka. Bagaimana rasa-mau-mati ketika orang yang disuka tiba-tiba menghilang. Meski sebagian besar berisi keluhan, namun keluhan tersebut adalah kejujuran yang saya utarakan—dan anehnya dengan sangat jernih saya gambarkan.

Saat ini menulis adalah hal yang sulit saya lakukan. Banyak sebetulnya hal-hal yang ingin saya tuliskan, namun saya seperti kehilangan kemampuan untuk menyusun kata demi kata demi menggambarkan perasaan saya. Dan pada akhirnya hal-hal tadi hilang begitu saja.

Bukannya saya tidak berusaha. Tiap muncul ide menulis, cepat-cepat saya tuliskan di aplikasi notes ponsel, kadang juga saya tulis di buku catatan yang saya bawa ke mana-mana. Ketika sedang menulis seringkali saya terhenti di tengah-tengah. Kata-kata tadi menguap. Katanya banyak membaca bikin seseorang punya kosakata jauh lebih banyak dibanding mereka yang tidak membaca. Namun, rasa-rasanya tidak demikian dengan saya. Apa selama ini saya kurang membaca?

Pertanyaannya adalah apa yang bikin menulis jadi bukan hal mudah bagi saya. Apa yang membuat menulis seolah beban.  Tidak lagi ada kejujuran di sana; yang ada hanya ketakutan dan rendah diri.

Takut akan dianggap tidak bisa menulis. Takut dianggap tidak layak punya blog. Merasa rendah karena tulisan yang dihasilkan tidak sebagus teman-teman yang lain. Merasa rendah karena bertahun punya blog tidak ada peningkatan jumlah pembaca. Pada akhirnya yang saya lakukan hanya membanding-bandingkan.

Di pikiran saya hanyalah bagaimana caranya membuat tulisan-tulisan bagus. Bagaimana caranya bikin orang-orang takjub dengan tulisan-tulisan saya. Bagaimana agar orang menganggap saya layak. Jujur dan tulus dalam menulis seolah 6 sampai 7 tahun lalu hilang. Saya lupa rasanya menulis karena memang ingin menulis. Saya tidak ingat lagi seperti apa menulis tanpa berpikir akan dibaca atau tidak. Kemudian saya tersadar, saya bukanlah seorang Rendra atau Subagio Sastrowardoyo atau Eka Kurniawan. Saya bukan Djenar Maesa Ayu. Bukan seorang Leila S. Chudori. Bukan juga Haruki Murakami.

Menganggap karya orang lain bagus sah-sah saja. Namun, tidak dengan meremehkan karya sendiri. Membandingkan tulisan kita dengan tulisan orang juga tidak dilarang. Namun, lantas jadi rendah diri dan tidak mau menulis lagi, itu yang tidak boleh. Dan saya sedang belajar menerapkan kalimat tadi pada diri sendiri.

Saya suka sekali kata-kata Roy Saputra pada salah satu artikelnya: Ketika kau mulai membandingkan, di situlah kau kehilangan kebahagiaan.

3 comments:

baristarasa said...

Ugh. Sama banget, nih. Rasanya agak sukit menemukan kata-kata yang pas untuk apa yg mau dituliskan.

Kresnoadi DH said...

Wah, iya sih kadang2 gue juga pernah kayak gitu. Lalu pas gue baca lagi tulisan2 gue... ternyata emang jelek. Hehehe. Anyway, salam kenal ya! Kayaknya baru pertama kali deh main ke sini. \(w)/

Debora Marianthi said...

Haiiii penuliss favoriteku si ratu aksara dengan berbagai kosakatanyaa. Tertiba dijam ini ku punya kerinduan membuka rumahku yang sudah usang. Dan ku membaca nasihat yang dikau tinggalkan untuk tetap menulis! Tapi nyatanya ku sudah lama tak menghidupinya. Apakah aku harus melakukan art therapyku yang satu ini lagi? Hihihihi