January 25, 2016

Ibu Saya Bukan Ibu yang Baik

Ibu saya bukan Ibu yang baik. Setidaknya itu yang saya rasakan saat hampir 22 tahun tinggal seatap dengannya. Ibu selalu menyakiti hati saya.

Diberikan kalimat-kalimat pedas bagai sambal buatan Ibu sering saya terima. Saat nilai ujian matematika saya tidak sebagus seperti harapannya, sandal jepit yang sering Ibu pakai ke  kamar mandi melayang ke tubuh kecil saya. Jika wortel di sup ayam buatannya saya sisakan di piring, Ibu tak segan menjejalkannya ke dalam mulut hingga saya muntah-muntah.

Saya dan Ibu bukan berarti tidak pernah mesra. Kami pernah bermesraan. Bila tak salah ingat, kami mesra saat saya berulang tahun ke lima. Saat itu, Ibu mengajak saya bermain ke taman safari. Kami duduk di dalam bus dan berkeliling. Melihat zebra, singa, jerapah, gajah. Ibu membelikan saya es krim rasa stroberi. Tak lupa sebuah boneka beruang dan sepasang sepatu sebagai hadiah ulang tahun. Saya senang sekali. Itu kali terakhir kemesraan kami sebagai ibu dan anak.

Ibu saya bukan ibu yang baik. Ibu selalu pergi meninggalkan saya sendirian di rumah kontrakan kami yang sempit. Saya kerja buat kamu!, katanya bila saya menanyakan mengapa Ibu jarang ada di rumah.

Saya iri melihat Vira, teman sebangku saya yang jika pulang sekolah dijemput Mamanya. Saya iri melihat Fanny disuapi Bundanya saat saya dan teman sekelas menjenguk Fanny yang sedang dirawat di rumah sakit. Saya iri saat Katon dan Zahra saling pamer nasi goreng buatan Maminya yang katanya paling lezat. Tak pernah sekali pun saya dijemput Ibu saat pulang sekolah. Tak pernah Ibu membuatkan bekal nasi goreng. Tak pernah Ibu menyuapi saat saya sedang sakit. Yang ada ialah omelan dan kata-kata yang pedasnya berlipat-lipat yang saya terima. Saya iri. Iri sekali.

Ibu saya bukan ibu yang baik. Saat saya tumbuh menjadi seorang remaja, Ibu tak pernah mengizinkan saya bermain di luar seperti layaknya reremaja.

Berangkat sekolah saya diantar, pulang sekolah saya dijemput. Bukan oleh Ibu tapi Pak Dirman, sopir keluarga kami. Ya, perekonomian keluarga kami membaik. Kami tak lagi tinggal di kontrakan sempit. Kami tak perlu lagi hutang di warung untuk membeli beras. Kami tak perlu lagi berhutang untuk membayar uang sekolah.

Keadaan ekonomi yang membaik nyatanya tak membuat Ibu tinggal. Ibu masih sama seperti dulu, jarang di rumah. Yang berbeda hanyalah pakaian dan tas dan sepatu dan perhiasan yang Ibu pakai. Lebih bagus. Lebih mahal.

Saya tak pernah tahu apa pekerjaan Ibu. Yang saya tahu, Ibu sering keluar rumah dan pulang hampir pagi. Bahkan beberapa kali tak pulang sampai seminggu. Saya ingin bertanya, tapi sudah tentu jawaban yang sama saya dapat.

Ibu saya bukan ibu yang baik. Saat saya kecil, Ibu pernah bercerita tentang burung elang malam. Burung yang meninggalkan telurnya di sarang burung lain; menitipkan anaknya untuk dirawat, diberi makan oleh burung lain dan dia pergi bebas, terbang ke manapun yang dia mau. Melupakan sang anak.

Ibu saya bukan ibu yang baik. Ibu pulang pukul 2 dini hari, berteriak-teriak. Ibu mabuk berat. Segala sumpah serapah Ibu ucapkan. Dari dalam kamar saya bisa mendengar Ibu menyebut nama Ayah.

"Bajingan kamu, Mas! Kamu ninggalin aku demi pecun. Anjing! Kamu ninggalin anak kamu! Aku musti kerja banting tulang buat ngidupin anak yang aku juga nggak tahu siapa ibunya! Bangsat!"

***

Ibu saya bukan ibu yang baik. Namun, Ibu yang tidak baik ini merawat saya sejak bayi, bekerja pontang-panting, berhutang ke sana ke mari menghidupi saya; memberi makan saya, membayarkan uang sekolah saya, memberikan saya tempat tinggal; seseorang yang ternyata bukan darah dagingnya; seseorang yang ditinggal Bapak kandungnya demi perempuan jalang lainnya; selain Ibu saya.

No comments: