Tak kusangka pertemuan kita akan seperti ini. Hal tersulit yang kulakukan ialah melupamu. Sungguh. Melihatmu minggu lalu, kau masih sama seperti laki-laki yang membuatku jatuh cinta, dulu.
Aku terkejut membaca surat kecil yang kau selipkan dalam buku catatanku. Kalau boleh jujur, terus terang, aku pun sama halnya denganmu; tak bisa menahan diri untuk tidak saling menyentuh. Kau tahu, layaknya buah terlarang di Taman Eden; kau begitu matang dan menantang. Memanggil-manggil untuk dicicipi.
Tak hanya seekor ular biadab yang menggodaku; menggeliat lembut di kedua daun telingaku, membisikiku untuk memetik dan merasakanmu. Ada begitu banyak ular; ribuan bahkan jutaan. Di sela-sela jari kakiku, melingkar di betis, di paha, di perut, di leher, di kepala, di kedua tangan. Mereka menari, menggeliat, menggerayangi, melingkar dan tak henti-henti membisikkan kalimat, "dekatilah, petiklah, makanlah", berjuta-juta kali.
Pelukmu terlalu hangat. Aroma tubuhmu terlalu memabukkan, bibirmu terlalu manis. Dan aku yakin setiap inci tubuhmu adalah lezat. Mana mungkin aku tak tergoda.
Kita harus sadar keadaan kita sekarang. Bagaimana mungkin seorang biarawati sepertiku saling bersentuhan kulit dan kulit dengan seorang Imam sepertimu? Meski hasratku untuk menyentuhmu begitu kuat, serupa kita 9 tahun lalu. Aku hanya berharap agar malaikat yang ditugaskan Tuhan menjagaku, mampu menahanku untuk tetap waras.
Ini jalan kita sayang; menjadi pelayan Tuhan. Jangan rusak panggilan-Nya, jangan sekali-sekali kita buat Dia marah. Jangan biarkan kita disesatkan dosa. Biarlah cinta yang telah lalu kita biarkan pergi; biarkan dia mati. Tak usah kita bangkitkan lagi.
Aku bangga melihatmu dibalik jubah putih itu dan, saat ini, aku menghormatimu, Romo.
Suster Sisilia
1 comment:
feel nya kena banget, lanjutkan menulisnya
Post a Comment