Saya merindukan saya.
Kalimat di atas ialah yang sebenar-benarnya saya rasakan saat ini. Tadi siang, saat sedang bermain salah satu sosial media -- baiklah, Twitter, iseng-iseng saya mengetik username lama di kolom pencarian. Kemudian munculah celotehan-celotehan yang dulu pernah saya buat. Diikuti kenangan jangan lupa.
Ya, kenangan membuat perasaan saya naik turun tak karuan serupa sedang menumpang mobil Formula 1 yang dikemudikan Carlos Sainz jr; selain karena mobil melaju dengan kecepatan penuh, penumpang (wanita) mana yang perasaannya takkan naik turun bila melihat Carlos dengan wajah seriusnya di belakang kemudi? Ya, ya, saya mulai melenceng.
Saya merindukan saya.
Setelah meng-klik tombol search, keluarlah segala percakapan-percakapan maupun twit-twit saya dulu. Di sana, yang saya temukan ialah berbagai macam twit lucu (atau yang saya paksa agar lucu) yang saya buat. Membacanya cukup membuat kedua alis saya bertemu, dan berpikir:
"Gue segaring ini dulu?"
"Ini lucu dari mananya?"
Pun di sana muncul percakapan-percakapan saya dengan seorang pria -- yang tentu saja namanya pun username twitternya tak bisa saya publish di sini.
Saat itu saya masih 'anak bawang'. Anak baru. Benar-benar baru. Saya ialah anak daerah yang 'keluar' demi mendapatkan pendidikan yang lebih baik di kota yang disebut orang sebagai kota pelajar. Oke, kalimat tadi terlalu berbelit-belit.
Sebagai anak baru yang belum kenal dan tahu apa-apa. Masih lugu. Atau naif. Atau bodoh tepatnya. Saya begitu terlena dengan kehidupan percintaan saya saat itu. Singkat cerita saya menahbiskan diri sebagai 'korban PHP'. Entahlah saat itu saya benar-benar di-PHP atau saya yang memang terlalu melebih-lebihkan perhatian pun perlakuannya yang membuat saya ngarep berlebihan. Intinya saya patah hati dan galau sepanjang tahun-tahun pertama kuliah.
Isi linimasa Twitter penuh dengan konversasi dengan pria itu, dengan teman-teman semasa sekolah menengah, dan teman-teman baru saya di kampus tentunya. Belum lagi dengan drama-drama nomention atau kode-kode yang bertebaran di mana-mana pun keluhan-keluhan tentang kuliah, tugas dan teman-temannya.
Ternyata saya pernah menjadi remaja labil. Alay. Kamseupay. Maklumlah, namanya juga anak daerah. Namun, perlu diperjelas, tidak semua anak daerah kampungan seperti saya. Catat baik-baik!
Saya merindukan saya.
Sekarang, isi linimasa saya begitu-begitu saja. Tidak ada yang istimewa. Tidak ada tweet garing, percakapan dengan temàn-teman -- karena memang sepertinya lebih baik percakapan atau ngobrol tidak dilakukan di tempat di mana semua orang bisa mengakses.
Saya merindukan saya.
Yang begitu bawel di sosial media. Yang tidak pernah berpikir apa yang akan terjadi kemudian bila saya menulis ini dan itu. Memang kurang begitu baik berunek-unek-ria di sosial media; Twitter khususnya, namun terkadang melakukan sesuatu tanpa perlu berpikir ini-itu ialah menyenangkan.
Spontanitas dan tanpa basa-basi itu yang hilang dari dalam diri saya. Mungkin sekarang saya terlalu jaga-image atau memang telah faktor usia.
Saya merindukan saya.
Saya ralat.
Saya merindukan spontanitas, kegaringan(?) dan situasi saya dahulu. Entahlah.
Maafkan pemilihan kata yang saya pakai di atas. Bila Anda menemukan diri Anda kebingungan setelah membaca tulisan ini, artinya Anda masih normal. Selamat!
Salam Random.
No comments:
Post a Comment