Gincu merah jambu itu melekat erat di bibirmu. Polesan perona pipi pun sama eratnya memeluk kedua pipimu. Padu padan syahdu di wajahmu yang lugu.
Tatanan rambut indah, baju-baju cantik berenda dengan warna senada menjadi sahabatmu. Belum lagi semua perhiasan yang kerap kali kau kenakan.
Sepatu hak tinggi dua belas senti menemani ke mana pun kau melangkah. Sering kedua kakimu meronta kesakitan. Namun tak sekali pun kau acuhkan.
Rela kelaparan hanya untuk menjaga penampilan. Bersikap bak putri istana agar dapat perhatian.
Yang paling menyedihkan darimu ialah kau yang menjadi palsu. Ini bukan perkara segala polesan di wajahmu. Ini perihal sikapmu.
Kau cantik. Cantik sekali. Riasan wajah, baju-baju indah, sepatu merek ternama. Namun tidak dengan hatimu, kau benar-benar berubah. Hatimu tak secantik dulu.
Apa yang telah (pria) kota lakukan padamu? Kau seakan lupa segala.
Sayang, aku memang tak bisa memberikanmu barang mewah itu. Namun percayalah, aku tak henti-hentinya berusaha.
Saat ini aku hanya bisa mencintai; dalam diam; dengan sepenuh-penuhnya ketulusan; pun mendoa. Kurasa, itulah sebenar-benarnya hal paling berharga. Maafkan, aku tak seperti pria-pria kota yang kau ceritakan.
Lelaki kampung(an) yang mencintaimu dalam diam.
No comments:
Post a Comment