November 16, 2014

Maaf, Tari.

Sudah seminggu ini hati Gusti gusar. Memikirkan segala kegundahan. Malam ini juga sama. Di kamar bercat kelabu, Gusti duduk di atas ranjangnya. Menyandarkan kepala yang terasa berat.

Gusti memikirkan Tari, wanita yang sudah 6 tahun dipacarinya. Wanita yang membuat hidupnya lebih berwarna. Wanita yang membuatnya merasa bagai seorang raja. Wanita yang seminggu lagi dinikahinya.

Aku harus memberi tahu Tari. Tiada waktu lagi. Batin Gusti berbicara. Lalu terlintas wajah Tari. Wanita cantik, pintar, mandiri, pengertian, juga lemah lembut. Wanita yang sangat ideal, sangat sempurna dijadikan seorang istri.

Gusti sadar, selama ini banyak pria yang berusaha mencuri hati Tari. Begitu banyak pria yang menginginkan Tari untuk dijadikan teman hidupnya. Begitu pun orang tua Gusti. Sungguh sayangnya ibu dan bapaknya pada wanita cantik itu.

Muncul potongan-potongan kenangan saat Gusti dan Tari berjumpa bertahun lalu. Di awali dari perkenalan mereka di pesta pernikahan Rahayu, teman sekantor Gusti yang juga teman semasa kuliah Tari.

Perkenalan itu berlanjut dengan saling bertukar nomor ponsel, kencan, hingga akhirnya mereka menjadi sepasang kekasih.

Tari benar-benar wanita sempurna. Sangat sempurna. Pernah di satu waktu, ketika Tari ditugaskan ke Austria, Gusti mengalami kecelakaan mobil. Dengan sesegera mungkin, Tari pulang ke Bandung, demi Gusti.

Saat akhirnya Gusti harus bergantung pada kursi roda selama 3 bulan pasca operasi patah kaki. Dengan sabar dan telatennya Tari merawat Gusti. Tergambar jelas diingatan Gusti mata indah Tari, senyum manis Tari, lentiknya jari Tari. Dirasainya hangat pelukan Tari, manisnya kecupan bibir Tari, lembutnya kulit Tari. Semua membuat Gusti semakin merasa bersalah. Membuatnya semakin merasa berdosa pada wanita yang begitu sempurna itu.

Tak ada waktu lagi. Jangan jadi seorang pengecut. Hatinya menasehati.

Diambilnya ponsel di atas meja kayu bercat hijau tua. Gusti memencet empat angka pertama dari dua belas angka yang ia hafal di luar kepala. Nomor telepon Tari.

Dadanya berdegup kencang. Bibirnya bergetar. Satu kali nada panggilan. Dua kali nada panggilan. Di nada ketiga, terdengar suara lembut Tari. Peluh mengucur deras di seluruh tubuh Gusti.

Obrolan mereka malam itu tentang persiapan pernikahan mereka. Pada akhirnya, tak sedikit pun ia mengutarakan maksudnya pada Tari. Dasar pengecut! Gusti merutuki dirinya sendiri.

***

Hari pernikahan pun tiba. Dengan jas serba putih, Gusti dan iring-iringan menjemput sang calon istri untuk bersama ke gereja. Tak dapat dimungkiri, Tari semakin cantik dengan gaun putih yang dengan erat memeluk tubuh indahnya.

Lalu terlintas apa yang selama enam bulan ini dilakukan Gusti. Ia mengkhianati Tari, wanita yang begitu sabar dan setia bersamanya. Menemaninya. Haruskah Gusti menyakiti Tari dengan kenyataan yang begitu pahit ini di hari pernikahan mereka? Gusti semakin kacau.

Tapi, ini jauh lebih baik dari pada Tari tahu saat mereka telah resmi menjadi  sepasang suami istri.

10 menit  lagi pemberkatan dimulai. Gusti resah di bangkunya.
Harus sekarang juga. Harus. Hati Gusti semakin gusar. Nafasnya sesak.

Diajaknya Tari ke tempat yang lebih sepi.

"Ada apa, Ti?"
"Tari, aku minta maaf"
"Maaf untuk apa?"
"Aku mengkhianati kamu"
"Maksud kamu?"
"Aku… Selingkuh. Maaf."
"Apa???"

Hening…

Tari tak menjawab. Gusti memejamkan mata. Bersiap jika Tari tiba-tiba menamparnya. Tapi tak terjadi.

"Lalu siapa wanita itu?"
"… Dia…"

Muncul dari balik pintu, Thomas, kakak lelaki tertua Tari.

No comments: