Sudah kuduga mereka pasti kan bertanya. Prediksiku meleset. Kupikir, dengan sedikit polesan make up bisa membuat wajahku terlihat baik-baik saja. Perona pipi merah muda kupoleskan lebih tebal dari seharusnya, namun tidak bisa menutupi lebam di pipi kiriku. Belum lagi dengan luka di pelipis kanan dan mata bengkak.
Seharusnya aku berdiam di rumah saja. Mengunci diri di kamar, agar tak ada yang melihat wajahku yang entah seperti apa rupanya. Hingga takkan kutemui pertanyaan-pertanyaan sial itu.
Sama seperti malam-malam sebelumnya, tadi malam bajingan itu menghajarku habis-habisan. Masalahnya sepele, hanya karna aku terlambat membukakan pintu. Terang saja, mana ada orang yang masih terjaga pukul dua dini hari. Rambutku ditarik, wajahku ditampar, kemudian aku dihempaskan ke meja. Untung saja aku cukup gesit untuk menahan tubuhku agar tak rubuh. Kemudian yang kulakukan, menangis sampai pagi.
Bajingan itu ialah pamanku. Adik tiri mendiang ibu. Sampai di usianya yang hampir kepala lima, tak juga ia menikah. Bujang lapuk!
Pernah suatu kali teman kantornya datang ke rumah, mereka berbincang ngalor-ngidul hingga akhirnya kuketahui ia menjadi bujang lapuk begitu karna sakit hati. Perempuan yang dicintainya menikah dengan laki-laki lain.
Pantas saja, sampai saat ini ia tak pernah terlihat dekat dengan perempuan mana pun. Apà ia trauma? Apa ia membenci perempuan? Jika benar, tak heran, ia membenciku sebegitunya. Baginya aku ialah radio lama peninggalan kakek-nenek; tak berharga namun tak bisa ia buang.
Hampir dua puluh tahun aku tinggal bersamanya. Sepeninggal ibu, aku dititipkan padanya. Ibu memang tak punya saudarà lain selain bujang lapuk itu.
Yang kutahu peringainya memang kasar, hanya saja tak sampai main tangan. Aku yang kanak-kanak sering dihadiahkan kata-kata kasar. Namun, sejak aku kelas dua smp, ia mulai main tangan. Pernah aku dipukul dengan ikat pinggangnya karena aku lupa menaruh gula di secangkir kopinya. Sambil menghajarku ia sering berteriak-teriak. Wajahku terlalu mirip ayah katanya.
***
"Wajahmu kenapa, Mbak?", tanya Ainun.
Pertanyaan ke delapan yang kudapatkan hari ini. Satu dari sopir taksi yang tadi kutumpangi, satu dari satpam, satu dari mas resepsionis, tiga dari orang yang satu lift denganku, satu dari mbak OB dan satu dari Ainun; sekretaris paman.
Ainun ialah janda beranak dua. Walau telah kepala tiga lebih, namun wajahnya masih kencang. Dandanannya kece, badannya masih oke. Sering aku berharap agar paman jatuh cinta pada janda ini. Mungkin bila ia menikah, ia takkan menyiksaku lagi. Namun, bisa saja Ainun nanti yang merasakan hantaman tangan paman. Ah, tak tega aku padanya. Sudahlah! Jangan bahas Ainun. Ia tak begitu penting di sini.
"Bapak masih rapat, Mbak. Selesai pukul setengah dua belas. Setengah jam lagi", teriak Ainun ketika aku berlalu tanpa menjawab pertanyaannya.
***
Siang ini aku ke kantor paman, mengantarkan map merah yang tertinggal di rumah tadi pagi. Entah isinya apa, yang kutahu isi map itu penting. Jika bukan karena bajingan itu mengancam tidak akan membayarkan biaya perjalananku keliling Eropa saat meneleponku tadi, tidak sudi aku. Sebelumnya ia mewanti-wanti agar aku sebisa mungkin menutup "hadiah" yang ia berikan dini hari tadi. Pun mengingatkan untuk tidak menjawab pertanyaan apapun yang orang berikan padaku.
Kau pasti heran mengapa ia bersedia mengeluarkan uang untuk seseorang yang dibencinya. Jika kau bertanya padaku, jawabanku tidak tahu. Alah, persetan dengan segala alasan. Aku tak peduli. Mungkin itu rasa penyesalan atau mungkin "upah" karena aku selalu jadi bulan-bulanannya. Yang penting bagiku, aku bisa bersenang-senang. Walau mungkin kesenangan itu harus dibayar dengan penyiksaan darinya.
***
Aku masuk ruangan kerja paman. Kosong. Sepi. Ia memang tak ada di sana. Aku bebas mengamati. Sebagai seorang bujang lapuk yang tidak memiliki perasaan, ruañg kerjanya cukup rapi.
Map merah yang kubawa tadi kutaruh di mejanya, sembari mataku berkeliling. Kutemukan kotak kayu hitam di kolong meja di sudut ruang kerja paman. Rasa penasaranku muncul; ingin tahu apa isi kotak itu.
Kuamati kotak itu, atau kusebut saja peti kecil itu. Peti itu kusam, ada ukiran-ukiran di sisi-sisinya. Terlihat seperti barang antik.
Rasa ingin tahuku membuncah. Kuamati sekeliling. Sepertinya paman belum selesai rapat. Kata Ainun tadi paman akan selesai pukul 11.30. Kutengok arloji di tanganku, 11.15, masih 15 menit lagi. Cepat-cepat kubuka kotak itu. Ada sepucuk surat.
Kepada Raesaka,
Kau tentu tahu maksud surat ini. Kau pasti marah. Kau membenciku. Maafkan aku Rae. Aku benar-benar bingung.
Kau perlu tahu, aku benar-benar mencintaimu. Demi Tuhan! Namun, aku tak bisa menolak permohonan Ibu. Kalau pun Ibu tak memintaku bertunangan dengan Alex, kita tetap tak bisa bersama. Kau akan menjadi adikku. Ayahmu dan Ibuku akan menikah.
Maafkan aku Rae, aku mencintaimu.
Maila.
19 Juli 2015,
Anggi Bintang
No comments:
Post a Comment