February 14, 2016

Ibu, Saya Minta Maaf

Ibu, seharusnya ini ialah surat cinta, namun sepertinya ini akan jadi surat permintaan maaf.
Ibu saya minta maaf. Sebagai salah satu dari ratusan juta anak-anakmu, saya hanya bisa diam melihat kau dilukai untuk kesekian kali oleh orang-orang tak
bertanggung jawab; mengeksploitasi alammu habis-habisan, menyalakan api permusuhan di antara anak-anakmu hingga menebar teror yang mencekam.
Ibu, saya minta maaf. Sebagai salah satu dari ratusan juta anak-anakmu, saya hanya diam. Tidak melakukan apa-apa. Padahal sudah kewajiban saya untuk melindungimu. Untuk menjagamu. Membuatmu bangga memiliki saya.
Ibu, saya minta maaf. Karena saya masih sangat sangat sering menyalahkanmu atas segala kesusahan yang saya dan saudara-saudara saya rasakan. Banjir, tanah longsor, susah air, kelaparan, kemiskinan, kemacetan dan keluhan-keluhan lain yang kami ucapkan melalui mulut-mulut kami. Padahal, jika dipikir lagi, semua muncul karena keteledoran kami. Karena ketidakpedulian kami. Takkan ada banjir bila kami sadar di mana seharusnya membuang sampah. Tanah longsor takkan ada bila kami lebih bijak mengelola tanahmu, hutanmu, gunungmu. Susah air bisa saja takkan terjadi bila kami dengan bijak menggunakannya. Dan kemacetan, ini takkan terjadi bila kami lebih memilih transportasi umum. Bukan dengan berlomba-lomba menyetir kendaraan pribadi; yang katanya paling terkini, paling hits, paling kece; dengan alasan naik kendaraan umum lama, berisik, bau.
Ibu, saya minta maaf. Masih membuat Ibu bersedih. Membuat Ibu bersusah hati. Permohonan maaf ini pun saya ungkapkan atas nama saudara-saudara saya yang juga menyakiti hatimu. Maafkan kami Ibu. Maafkan kami anak-anakmu yang terlalu bandel ini.
Terima kasih Ibu atas kasih sayangmu bagi kami anak-anakmu yang tak tahu diri. Terima kasih atas tempat tinggal kami; tanah yang subur, udara bersih yang boleh kami terima dengan cuma-cuma setiap hari, tidak seperti teman-teman kami di Negeri Tirai Bambu sana. Untuk mendapatkan udara bersih, mereka harus membayar. Alam yang indah; kami tak perlu repot-repot ke luar negeri hanya untuk melihat pantai dengan pasir putih dan air biru kehijauan. Gunung, sungai, tebing, air terjun, hutan, bahkan padang pasir pun ada di sini.
Ibu, jangan menangis lagi. Saya berjanji akan menjadi anakmu yang kelak membuatmu bangga.
Saya mencintaimu Ibu Pertiwi.

4 comments:

saeful akmal said...

ibuu, saya suka ngeyel, artikelnya keren dah

Eko Sutrisno said...

Emang bener bnget gan surga itu di telapak kaki ibu, salam sayang buat ibu kita

Unknown said...

Keren Gan!

MAZKIT said...

ibu adalah sosok pahlawan untuk anak2nya... mantap gan