Menangis ialah salah satu kegiatan yang sangat sering saya lakukan. Tangisan pertama saya pecah saat saya keluar dari rahim Ibu yang kurang lebih 9 bulan saya tinggali. Mungkin saya yang masih bayi itu tidak rela meninggalkan tempat pengap, gelap, basah namun hangat pun nyaman itu.
Saya tidak ingat betul tangisan ke-dua, ke-tiga, ke-empat dan seterusnya dan seterusnya. Pun penyebabnya. Mungkin karena lapar, haus, ingin digendong, minta dipeluk, tidak mau makan, tidak mau mandi; hal-hal remeh. Wajar saja, saya masih kecil saat itu.
Saya juga pernah menangis karena di-bully. Dikata-katai item, keriting, kribo, pesek, jelek, kurus kering ialah makanan sehari-hari saya waktu SD --masuk SMP dan SMA kadarnya mulai berkurang. Padahal saat itu saya juara kelas. Ternyata, nilai yang bagus, menjadi bintang kelas tidak cukup menghindarkan saya dari ejekan-ejekan yang kalau diingat sekarang, masih membuat saya emosi.
Namun, saya tidak pernah menangis di depan mereka. Pantang bagi saya mengeluarkan air mata di depan anak-anak yang mulutnya lebih pedas dari sambal Bu Rudi. Jadi, saya menangis diam-diam. Di kamar. Sepulang sekolah. Mama dan Papa saya pun tak pernah tahu.
Namun, saya tidak pernah menangis di depan mereka. Pantang bagi saya mengeluarkan air mata di depan anak-anak yang mulutnya lebih pedas dari sambal Bu Rudi. Jadi, saya menangis diam-diam. Di kamar. Sepulang sekolah. Mama dan Papa saya pun tak pernah tahu.
Beranjak remaja, alasan saya menangis bukan karena perkara percintaan layaknya remaja kebanyakan. Bukan maksud saya mengeneralisasikan alasan remaja di luar sana menangis karena perkara cinta, namun dari sebagian besar orang yang saya kenal, masalah mereka tidak jauh-jauh dari cinta. Baiklah, kita skip saja.
Saat remaja, saya menangis --masih diam-diam, karena masalah yang bagi saya rumit dan membingungkan. Saya menangis karena tiba-tiba keluarga kecil saya hancur berantakan. Ketika saya tidak punya orang yang bisa saya ajak diskusi atau sekadar mendengarkan isi hati yang saya rasakan. Mungkin lebih tepatnya, tidak ada orang yang bisa saya percaya untuk berkeluh-kesah. Namun, pertahanan saya runtuh. Akhirnya saya menangis, di depan orang, untuk pertama kali di depan guru agama saat SMA.
Alasan saya tidak ingin menangis di depan orang karena saya pernah mendengar percakapan Mama dan temannya suatu ketika. Saat itu Mama bilang bahwa saya cukup kuat untuk menerima keadaan ini karena ia tidak pernah melihat saya menangis. Kuat menerima keadaan di mana orang tuanya berpisah diukur karena si anak tak pernah menangis. Entah teori dari mana yang ia dapat. Namun, karena percakapan itu, saya pun semakin tidak ingin menangis di depan orang.
Kemudian saya sudah cukup besar untuk menangis karena alasan hati; Menangis karena begitu merindukan. Menangis karena begitu dicintai. Menangis karena mencintai. Menangis karena dijadikan mainan. Menangis karena diduakan. Menangis karena dikecewakan. Menangis karena ditinggalkan. Menangis karena menduakan. Menangis karena mengecewakan. Menangis karena meninggalkan. Menangis karena penyesalan.
Saya sadar, menangis ternyata diperlukan. Bukan untuk mencari simpati, perhatian pun belas kasihan, namun menangis bisa menciptakan sedikit kelegaan; membuang apa yang selama ini ditahan. Setidaknya, itu yang saya rasakan.
Sampai saat ini saya masih sebisa mungkin menahan untuk tidak menangis di depan orang. Karena terus terang, saya tak ingin dikasihani. Meski mungkin, tidak semua orang begitu. Selain itu, saya tahu, wajah saya ketika sedang menangis pasti awur-awuran. (((awur-awuran)))
Entah apakah tulisan saya kali ini ada manfaatnya atau tidak.
5 comments:
Sedih ane bacanya nice post sob
fiyuhhh... rada baper gue bacanya. semangat aja lah bro
baper everywhere dah :v
yah keinget waktu itu deh setelah baca ini jadi baper nih but nice bro
Menangis wajar gan, tapi jangan keterlaluan :)
Post a Comment