"Surga ada di telapak kaki ibu"
Pernyataan yang kemudian membuat sebuah tanya—lalu muncul tanya-tanya lain—apakah seseorang kehilangan kesempatan masuk surga karena ia tidak menjalankan kewajibannya sebagai seorang anak—menghormati orangtua, dalam hal ini ibu? Apakah kehilangan kesempatan tersebut selalu murni kesalahannya—sebagai seorang anak? Pernahkah ada yang berpikir jika mungkin, bisa saja Ibu yang salah?
Atau tidak pernah ada Ibu yang salah, anaklah yang selalu salah?
Atau tidak pernah ada Ibu yang salah, anaklah yang selalu salah?
Mendengar kisah seorang ibu diusir anaknya atau seorang ibu diterlantarkan anaknya atau seorang ibu yang tidak diakui anaknya sering sekali kita dengar. Bahkan tidak jarang dikisahkan menjadi sebuah film atau sinetron. Si ibu akan menangis tersedu-sedu saat si anak membentak, memaki bahkan memukul dan menendang. Ada juga bagian si ibu terkatung-katung di jalan karena diusir atau diterlantarkan si anak. Penonton menangis—turut merasakan kepedihan ibu, kemudian memaki si anak. Lalu penonton mulai menasehati anak-anaknya, atau teman-temannya agar tidak bersikap seperti tokoh anak dalam sinetron atau film yang ditontonnya.
"Jangan jadi anak durhaka, nanti tidak masuk surga. Surga itu ada di telapak kaki ibu,"
Begitulah kira-kira kalimat yang akan diucap penonton tadi ketika ia menasehati atau bahkan melihat orang lain bersikap tidak hormat pada ibu-ibu mereka. Selalu anaklah yang salah—anak durhaka, anak iblis, lahir dari batu dan istilah-istilah lain yang penonton tadi berikan.
Pernahkah ada yang berpikir bahwa ada juga ibu-ibu yang melakukan hal bejat di atas pada anak-anaknya? Pernahkah ada yang berpikir bahwa ada juga anak-anak yang menderita karena apa yang diterimanya dari ibu-ibu mereka? Dan jika pernyataan di atas adalah benar, pernahkah ada yang berpikir bahwa anak-anak ini kehilangan kesempatannya masuk surga karena (kesalahan yang dilakukan) ibu-ibu mereka?
Atau memang selalu anaklah yang salah dan ibu selalu benar?
Sering sekali kita bersikap seperti penonton tadi—menasehati, menggurui bahkan tidak jarang menyumpahi orang-orang yang kita lihat bersikap tidak sesuai dengan apa yang kita—orang (normal) lain—lakukan.
Mengatakan ini dan itu pada mereka yang (terlihat) bermasalah dengan ibunya. Menasehati panjang lebar juga terkesan menggurui. Mengatakan segala macam yang sesungguhnya mereka pahami. Kita merasa seolah-olah orang suci yang seenaknya melabeli mereka pendosa. Bahkan Sang Maha pun tidak demikian.
Saya yakin selalu ada alasan di balik sikap dan sifat seseorang. Dan alasan tersebut tidak selalu harus diceritakan. Setiap orang punya haknya masing-masing untuk menyimpan setiap alasan atas apa yang mereka lakukan. Dan kita, tidak punya hak untuk tahu.
Kemudian saya tersadar, bila pernyataan di atas adalah benar, apa saya telah kehilangan kesempatan untuk masuk surga?
No comments:
Post a Comment