January 15, 2018

Selasar di Hari Selasa

Selasar balai desa di hari Selasa selalu istimewa bagi warga Dusun Kenanga. Sejak surya masih mengantuk—redup matanya, hingga terjaga—segar mata dan senyumnya, hiruk pikuk sudah dimulai. Ibu-ibu berebut tempat paling muka. Agar kangkungnya laku. Nangkanya laku. Kue lapisnya laku. Sandal karetnya laku. Sumbu kompornya laku. Terasinya laku. Keranjang bambunya laku.

Kepalaku tak mau kalah. Macam selasar pagi ini, kepalaku begitu ramai, begitu meriah, begitu banyak suara-suara. Tidak semua punya nama. Mereka anonim.

Suara-suara tadi mulai berkisah. Ibu bilang aku bersalah. Bapak kata aku jalang. Paman dan Bibi berucap aku tidak tahu malu. Adikku menangis ingin minum susu.

Suara-suara mulai berubah. Menjelma mereka muka-muka seram. Belasan laki-laki bergigi kuning, hitam, dan rusak. Mulut mereka bau comberan. Tangan dan kaki mereka kasar. Mata mereka iblis dari neraka jahanam. Telinga mereka tuli. Nurani mereka tertinggal entah di mana.

Tanganku diikat. Kakiku dipegang kuat-kuat. Mulutku dibekap. Tubuh kecilku ditindih. Berkali-kali. Tanpa ampun. Mereka terbahak-bahak. Kemudian berlalu.

***

Selasar di hari Selasa. Warga dusun Kenanga turut serta; tertawa-tawa. Bocah-bocah memandangku, bertepuk tangan, dan berseru,

"Orang gila... Orang gila... Orang gila...,"

Aku juga tertawa.

1 comment:

Anonymous said...

Bagus dan rapi sekali tulisan ini