Sudah
hampir pukul tiga pagi tapi tak kutemukan kantuk sedikitpun menghampiri mataku.
Entahlah, mungkin rasa ini penyebabnya. Rasa rindu yang begitu menusuk
sampai-sampai membuatku sesak untuk bernapas. Tetiba pandanganku mulai buram,
kurasakan sesuatu di pipiku; air mataku.
Pikiranku
mulai melayang, mengingat apa yang sudah hampir 2 tahun ini kulakukan.
Mengambil kelas yang sama denganmu, mengikutimu ke perpustakaan dan sengaja
duduk di bangku di belakangmu, menikmati senyummu dari kejauhan –untuk
perempuan lain yang kau sebut kekasihmu-, mencintaimu dalam diam. Kalau saja
kamu tahu kelakuanku, aku yakin cap “stalker” akan langsung kamu berikan
padaku.
Aku
tak pernah ingat kapan tepatnya aku mulai merindukanmu. Aku menyukaimu, maksudku
mencintaimu. Rasa itu muncul begitu saja seiring berjalannya waktu. Aneh ya,
padahal berbincang pun kita tak pernah tapi bisa-bisanya aku bilang
mencintaimu. Benar kata orang bijak, cinta itu misteri.
Mencintai
dalam diam seperti ini menyakitkan. Sangat. Andai kamu tahu. Ah, tapi kamu tak
mungkin tahu, karena yang mencintai dalam diam kan aku, jadi mana mungkin kau
yang tahu rasanya.
Tiba-tiba
pikiran liarku muncul. Aku berpikir bagaimana caranya aku membunuhmu. Bagaikan
opsi pada pertanyaan pilihan ganda, berderet cara-cara yang bisa kulakukan dan
salah satunya bisa kupilih. Aku mungkin bisa membubuhkan racun tikus di
makananmu, atau aku meracunimu dengan Sianida. Atau mungkin aku membekapmu
dengan bantal saat kau sedang lelap tidur. Tapi, apa aku tega membunuh orang
yang jelas-jelas kucintai.
Kamu
tak perlu cemas akan rencanaku itu, aku tak akan pernah membunuhmu. Aku
bukanlah Mark David Chapman yang begitu tega membunuh idolanya –dan idolaku-,
John Lennon. Aku janji. Kamu bisa pegang janjiku itu.
Saat
ini, aku memang sedang sulit bernapas. Saat ini aku memang sedang menangis dan
semua itu karenamu. Tapi kamu tenang saja, aku ini perempuan yang kuat. Aku
bisa menahan rasa yang begitu bergejolak ini. Aku bisa menahan rindu dan cinta
diam ini.
Sampai
sekarang, aku tak pernah bisa berjanji untuk berhenti menjadi “stalker”-mu. Aku
tahu, seminggu belakangan ini, kamu mulai merasa aneh padaku. Aku bisa
melihatnya dari tatapan matamu. Jujur, aku senang karena setidaknya kamu mulai
menyadari keberadaanku. Biasanya kamu selalu nyaman dan merasa tak terjadi
apapun walau aku selalu berada dibelakangmu. Maaf, aku sama sekali tak
bermaksud mengganggumu.
Dari
aku,
Perempuan
di belakangmu: Stalker-mu.
No comments:
Post a Comment