February 19, 2014

Dari Aku: Stalker-mu



Sudah hampir pukul tiga pagi tapi tak kutemukan kantuk sedikitpun menghampiri mataku. Entahlah, mungkin rasa ini penyebabnya. Rasa rindu yang begitu menusuk sampai-sampai membuatku sesak untuk bernapas. Tetiba pandanganku mulai buram, kurasakan sesuatu di pipiku; air mataku. 


Pikiranku mulai melayang, mengingat apa yang sudah hampir 2 tahun ini kulakukan. Mengambil kelas yang sama denganmu, mengikutimu ke perpustakaan dan sengaja duduk di bangku di belakangmu, menikmati senyummu dari kejauhan –untuk perempuan lain yang kau sebut kekasihmu-, mencintaimu dalam diam. Kalau saja kamu tahu kelakuanku, aku yakin cap “stalker” akan langsung kamu berikan padaku.


Aku tak pernah ingat kapan tepatnya aku mulai merindukanmu. Aku menyukaimu, maksudku mencintaimu. Rasa itu muncul begitu saja seiring berjalannya waktu. Aneh ya, padahal berbincang pun kita tak pernah tapi bisa-bisanya aku bilang mencintaimu. Benar kata orang bijak, cinta itu misteri.


Mencintai dalam diam seperti ini menyakitkan. Sangat. Andai kamu tahu. Ah, tapi kamu tak mungkin tahu, karena yang mencintai dalam diam kan aku, jadi mana mungkin kau yang tahu rasanya. 


Tiba-tiba pikiran liarku muncul. Aku berpikir bagaimana caranya aku membunuhmu. Bagaikan opsi pada pertanyaan pilihan ganda, berderet cara-cara yang bisa kulakukan dan salah satunya bisa kupilih. Aku mungkin bisa membubuhkan racun tikus di makananmu, atau aku meracunimu dengan Sianida. Atau mungkin aku membekapmu dengan bantal saat kau sedang lelap tidur. Tapi, apa aku tega membunuh orang yang jelas-jelas kucintai.


Kamu tak perlu cemas akan rencanaku itu, aku tak akan pernah membunuhmu. Aku bukanlah Mark David Chapman yang begitu tega membunuh idolanya –dan idolaku-, John Lennon. Aku janji. Kamu bisa pegang janjiku itu. 


Saat ini, aku memang sedang sulit bernapas. Saat ini aku memang sedang menangis dan semua itu karenamu. Tapi kamu tenang saja, aku ini perempuan yang kuat. Aku bisa menahan rasa yang begitu bergejolak ini. Aku bisa menahan rindu dan cinta diam ini. 


Sampai sekarang, aku tak pernah bisa berjanji untuk berhenti menjadi “stalker”-mu. Aku tahu, seminggu belakangan ini, kamu mulai merasa aneh padaku. Aku bisa melihatnya dari tatapan matamu. Jujur, aku senang karena setidaknya kamu mulai menyadari keberadaanku. Biasanya kamu selalu nyaman dan merasa tak terjadi apapun walau aku selalu berada dibelakangmu. Maaf, aku sama sekali tak bermaksud mengganggumu.


Dari aku,
Perempuan di belakangmu: Stalker-mu.



No comments: