Kurasa surat ini bisa dimulai tanpa harus kutanyakan kabarmu. Aku tahu, saat ini kau sedang berbaring di ranjang, mendengar lagu-lagu lawas sambil sedikit berdendang. Tak meleset kan tebakanku?
Menulis surat untukmu tak terlalu membuatku kerepotan untuk memulai. Selain karena aku tak perlu repot-repot menanya kabar, juga aku tak perlu susah payah mencari kata-kata puitis layaknya menuliskan surat untuknya. Bukannya aku kurang sopan, hanya saja, pikirku kau tak begitu butuh kalimat puitis nan romantis dariku.
Langsung saja, tak sadarkah kau terlalu keras pada dirimu? Terlebih beberapa tahun belakangan ini. Terus terang, hatiku nelangsa melihatnya. Coba kau tengok, sudah seberapa kurus tubuhmu! Belum lagi, lingkaran hitam menghiasi matamu.
Otakmu terisi terlalu banyak beban. Sebentar-sebentar, sakit kepala sebelah kiri kau keluhkan. Kau tahu itu kan? Kau sering bilang kehilangan kemerdekaan. Tak sadarkah dirimulah yang merampasnya. Kaulah sang penjajah yang sebenarnya. Belum lagi dengan pelbagai kesukaran yang kau umbarkan. Sebenar-benarnya, kau lah si pemberi tekanan. Rasanya, ingin kutampar benar agar kau segera sadar!
Perihal keresahan yang kau rasakan, aku tahu. Aku paham. Namun, apa yang (sedang) kau lakukan sekarang (mungkin) bukanlah jalan keluar. Sakit yang kau dapatkan jangan dijadikan alasan untuk mengubahmu menjadi pecundang. Kau bukan orang macam itu. Kau tahu!
Jika boleh kuberi kau saran, hilangkan sifat perfeksionis itu. Percaya atau tidak, ia yang membuatmu kikuk seperti sekarang. Belum lagi sifat kompetitifmu. Terlalu berlebihan. Jika memang tak bisa dihilangkan, setidaknya kurangilah.
Belajarlah percaya pada diri sendiri. Kau mampu melewati semuanya. Aku yakin. Pelangi takkan istimewa jika muncul tiap hari. Hujan takkan begitu dirindukan bila tak ada siang yang gersang. Begitu pun hidup, tak melulu soal bahagia.
Tetap kuat dan mendewasalah.
Tertanda,
Dirimu sendiri.
No comments:
Post a Comment