Hari ini kuniatkan diriku untuk melupa. Untuk tidak mengizinkanmu menempati kepalaku yang sudah penuh dengan polusi ini; meski kenyataannya, kau lah si penyegar dari segala keruwetan di dalamnya. Namun, kukuatkan hatiku untuk tidak memikirkan, mengingat apapun tentangmu; setidaknya untuk hari ini.
Terus terang, melupa seperti ini tidak mudah.
Bukan melupa, tapi memaksa untuk melupa. Karena pada kenyataannya, hampir setengah dari segala polusi di kepala disebabkan olehmu. Ironis?
Jika kau menanya mengapa aku melakukan hal-yang-terdengar-bodoh-menjurus-ke-tolol ini, baiklah, akan kucoba menjawabnya. Sejujurnya, aku hanya ingin merasakan bagaimana hidupku jika kau kubuang dari semesta dalam kepalaku.
Hasilnya? Sangat sulit. Ya. Karena kau selalu saja muncul. Memikirkanmu sama seperti bernapas bagiku. Jadi, hampir mustahil jika berhasil kulakukan, bukan?
Tadi siang, setelah menyelesaikan -untuk kali ke lima- Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma karya Idrus, nyaris saja aku lupa niatku hari ini; melupakan apapun tentangmu. Sempat beberapa detik kau muncul, namun beruntung, aku bisa mengalihkan perhatianku darimu. Maksudku, bayanganmu.
Sebenarnya, membaca buku tadi ialah salah satu caraku mengalihkan fokusku darimu. Bodohnya, buku yang kupilih untuk kubaca hari ini adalah buku yang kau berikan padaku. Alih-alih ingin melupa, malah jadi semakin mengingatmu.
Kau ingat kisah cinta segitiga Ishak, Satilawati dan Dokter Kartili? Juga percintaan Ishak dan Satilawati yang ditentang Sukroso ayah Satilawati? Walau awalnya kisah mereka menyakitkan, namun dengan perjuangan yang mereka lakukan, kisah itu berakhir jadi kisah yang manis.
Aku jadi berandai-andai jika aku ialah Satilawati dan kau ialah Ishak. Apa kita bisa sekuat mereka berjuang demi cinta? Bisakah kita menang?
Ah, namun itu hanya khayalanku saja. Aku tak bisa membayangkan jika ayahku melarangmu bertandang ke rumah tiap malam minggu karena ia tak menyukaimu. Terlebih ia menentang hubungan kita. Astaga, bisa mati aku.
Kau pasti tergelak membaca paragraf tadi. Sial, menulisnya membuatku mengingat suara khas tertawamu juga kerutan diujung matamu saat kau terbahak.
Dan sepertinya aku gagal untuk melupa(mu).
Perempuan yang nyatanya tak pernah bisa melupamu.
No comments:
Post a Comment