Sudah surat ketiga. Menyuratimu telah seperti candu untukku. Padahal isi suratku tak pernah tentang mengagumi pun memujamu. Entahlah. Seperti kataku tadi, menyuratimu ialah candu.
Gula, kudengar dari tiga pria berseragam yang tadi menumpang berteduh dari hujan di istanaku, kau juga teman-teman (baru)mu kehilangan tempat tinggal. Kata mereka istana indah nan mewahmu telah disita. Diambil alih oleh penguasa. Kata mereka lagi, rajamu terlalu serakah. Mengambil yang bukan haknya. Benarkah demikian?
Aku bukannya menguping, mereka yang bercerita terlalu keras. Jadi wajar saja jika telingaku mendengar jelas kabarmu. Jadi, benarkah demikian?
Kau pasti sedang gundah, hatimu terluka. Bagaimana mungkin kau si putih, manis, menyenangkan, disukai banyak orang harus kehilangan semuanya.
Tahukah kau gula, itu yang kurasakan ketika kau meninggalkanku. Begitu pedih.
NB: Jika kau sudi, aku bersedia menampungmu di istanaku. Tak seindah dan semewah istanamu memang. Istanaku hanya sebuah tenda reyot. Berdebu dan berasap setiap waktu. Pun berisik suara knal pot truk-truk dan bus-bus. Singgasanaku pun hanya rak kayu tua yang dialas plastik bekas bungkus kasur. Namun, kan kau temukan kenyamanan di sana. Pun sahabat yang dulu kau tinggalkan.
Sahabatmu,
Kopi
No comments:
Post a Comment