Apa salahnya mencintai sahabat? Apa ada
aturan, undang-undang, pasal atau teori yang melarang seseorang mencintai
sahabatnya? Saya mencintai sahabat saya. Namun, layaknya
kisah-mencintai-sahabat umumnya, saya hanya bisa mencintainya diam-diam.
Isyana namanya. Perempuan yang saya jumpai
pertama kali saat sekolah menengah. Entah takdir atau sekadar kebetulan, kami
selalu sekelas dan sebangku. Mungkin karena itulah kami berikrar untuk menjadi
sepasang sahabat.
Seperti yang saya katakan tadi, Isyana
dianugerahi wajah rupawan. Kulitnya putih bersih bagai porselen, dengan
sepasang mata indah, hidung mancung, dan bibir yang berwarna merah jambu tanpa
perlu polesan gincu. Rambutnya hitam panjang bergelombang. Suaranya merdu.
Otaknya encer. Dengan begitu banyak hadiah yang ia terima dari Tuhan, tak heran
bila Isyana menjadi siswa populer di sekolah, kuliah bahkan sampai kini, di
mana kami sudah sama-sama bekerja.
Sejak dulu, banyak sekali laki-laki berusaha
mencuri hatinya. Namun, pepatah yang mengatakan tidak ada manusia yang sempurna
itu benar adanya. Isyana, sang perempuan sempurna pun nyatanya memiliki
kekurangan. Ia tak pernah puas dengan kekasih-kekasihnya. Selalu saja ada yang
kurang di matanya. Entah itu pelupa, tukang tidur, ngaret bahkan hal yang
menurut saya remeh seperti suka menggigit kuku. Isyana, dengan kesempurnaan
yang ia punya, wajar saja menuntut kesempurnaan dari kekasihnya. Saya
memaklumi.
Sepanjang hidup dan sepanjang saya
mengenalnya, Isyana hanya mencintai dua laki-laki. Pertama Bastian, cinta pertamanya.
Seniornya saat di kuliah dulu. Laki-laki yang dengan rela Isyana berikan
hartanya sebagai perempuan. Mereka berhubungan kurang dari tiga tahun. Saya
bisa melihat Isyana benar-benar mencintai laki-laki ini. Saat hubungan mereka
berakhir karena Bastian kedapatan berhubungan dengan Fenita teman sekampusnya,
Isyana benar-benar terpukul. Tak kurang dari 15 kali ia mencoba mengakhiri
hidup.
Saya, sebagai sahabat─sekaligus seseorang yang
mencintainya─sungguh sedih. Saya bisa merasakan apa yang Isyana rasakan. Segala
kesedihan dan kekecewaannya sama seperti kesedihan dan kekecewaan Ibu yang ditinggal
ayah saat saya masih kanak-kanak karena Ayah punya perempuan baru yang menurutnya lebih cantik dari Ibu.
Melihatnya menangis, saya hanya bisa
memeluknya sekuat tenaga. Meminjamkan bahu saya untuk kepalanya bersandar.
Menemaninya dari pagi hingga pagi lagi. Memberikan kalimat penghiburan dan
penyemangat yang sesungguhnya hanya pura-pura. Karena, meski saya tak suka
melihatnya bersedih, di sisi lain, saya bahagia karena ia tak memiliki kekasih.
Berharap agar hatinya bisa saya miliki.
Tahun berganti hingga akhirnya Isyana bertemu
Aji Sastra; laki-laki kedua yang ia cintai. Laki-laki yang bukan hanya
kekasihnya namun calon suaminya. Aji ialah rekan kerja saya di kantor. Sayalah
yang mengenalkan mereka. Sesungguhnya saya tak puñya maksud apa-apa mengenalkan
mereka, apalagi sampai menjodoh-jodohkan. Karena sungguh, saya tak rela hati
Isyana dicuri kembali.
Isyana begitu mencintai Aji, saya bukan hanya
melihat namun saya bisa merasakan. Cintanya jauh lebih besar ketimbang cintanya
pada Bastian dulu. Dan saya begitu membenci Aji. Laki-laki ini telah mencuri
cinta Isyana. Sesuatu yang sungguh sàya idamkan sejak dulu; hanya tak bisa saya
ungkapkan.
***
Lima hari lagi pernikahan Isyana dan Aji digelar.
Isyana yang memang anak dari keluarga Jawa sedang melakukan tradisi
pingitan, Isyana meminta saya menemaninya. Sepanjang hari, sejak tradisi
pingitan ia jalani hingga saat ini, tak henti-hentinya Isyana bercerita tentang
Aji. Aji Aji dan Aji. Di pikirannya hanya ada Aji.
Saya yang awalnya menahan diri agar tak
terlihat cemburu lama-lama tak tahan. Sudah cukup rasanya saya menahan diri
untuk tetap menyimpan perasaan saya pada Isyana.
"Sudah cukup!", bentak saya saat
Isyana bercerita tentang romantisnya Aji ketika melamarnya.
"Kamu kenapa? Kok tiba-tiba marah?",
Isyana kebingunan melihat saya yang tiba-tiba emosi.
"Aku lelah dengar cerita-cerita kamu tentang
Aji! Aji Aji cuma Aji. Aku bosan!"
"Kamu kenapa, sih?" Nggak biasanya
kamu begini. Kamu lagi ada masalah?"
"Iya. Masalahku itu kamu,"
"Aku? Maksud kamu apa? Jangan bikin aku
bingung", Isyana terlihat semakin bingung.
"Kamu sadar kalau selama ini aku suka
sama kamu?", saya sudah tak bisa menahan diri.
"Apa?!!"
"Aku cinta kamu, Isyana," rasa ini harus
saya ungkapkan sekarang.
"Kamu gila!"
"Kamu ingat siapa yang selalu ada saat
kamu sedih. Saat kamu kacau. Saat kamu terpuruk karena Bastian. Saat kamu
merasa nggak berharga karena udah ngasih semuanya ke Bastian. Siapa yang ngasih
kamu semangat?" emosi saya naik.
"Lo sakit. Lo gila", Isyana menjauh
dari saya.
"Aku cinta kamu, Isyana,"
"Gue minta lo pergi sekarang. Jangan
temuin gue lagi. Gue anggap kita nggak pernah kenal!!"
***
Itu kalimat terakhir yang diucapkan Isyana.
Sebuah kalimat perpisahan yang menyakitkan. Andai saja saat itu saya bisa
menahan diri untuk tidak mengatakan perasaan saya. Andai saja saat itu saya
membiarkan perasaan saya tetap mengendap di dalam sana.
Saya tidak hanya kehilangan cinta, saya pun
kehilangan persahabatan dengan Isyana.
***
Apa salahnya mencintai sahabat? Apa ada
aturan, undang-undang, pasal atau teori yang melarang seseorang mencintai
sahabatnya? Saya mencintai sahabat saya.
Kata orang saya salah. Isyana menyebut saya
gila. Karena saya mencintai sahabat saya. Karena saya
seorang perempuan yang mencintai perempuan.
AB.
No comments:
Post a Comment