November 5, 2015

Mencintai Isyana

Apa salahnya mencintai sahabat? Apa ada aturan, undang-undang, pasal atau teori yang melarang seseorang mencintai sahabatnya? Saya mencintai sahabat saya. Namun, layaknya kisah-mencintai-sahabat umumnya, saya hanya bisa mencintainya diam-diam.

Isyana namanya. Perempuan yang saya jumpai pertama kali saat sekolah menengah. Entah takdir atau sekadar kebetulan, kami selalu sekelas dan sebangku. Mungkin karena itulah kami berikrar untuk menjadi sepasang sahabat.

Seperti yang saya katakan tadi, Isyana dianugerahi wajah rupawan. Kulitnya putih bersih bagai porselen, dengan sepasang mata indah, hidung mancung, dan bibir yang berwarna merah jambu tanpa perlu polesan gincu. Rambutnya hitam panjang bergelombang. Suaranya merdu. Otaknya encer. Dengan begitu banyak hadiah yang ia terima dari Tuhan, tak heran bila Isyana menjadi siswa populer di sekolah, kuliah bahkan sampai kini, di mana kami sudah sama-sama bekerja.

Sejak dulu, banyak sekali laki-laki berusaha mencuri hatinya. Namun, pepatah yang mengatakan tidak ada manusia yang sempurna itu benar adanya. Isyana, sang perempuan sempurna pun nyatanya memiliki kekurangan. Ia tak pernah puas dengan kekasih-kekasihnya. Selalu saja ada yang kurang di matanya. Entah itu pelupa, tukang tidur, ngaret bahkan hal yang menurut saya remeh seperti suka menggigit kuku. Isyana, dengan kesempurnaan yang ia punya, wajar saja menuntut kesempurnaan dari kekasihnya. Saya memaklumi.

Sepanjang hidup dan sepanjang saya mengenalnya, Isyana hanya mencintai dua laki-laki. Pertama Bastian, cinta pertamanya. Seniornya saat di kuliah dulu. Laki-laki yang dengan rela Isyana berikan hartanya sebagai perempuan. Mereka berhubungan kurang dari tiga tahun. Saya bisa melihat Isyana benar-benar mencintai laki-laki ini. Saat hubungan mereka berakhir karena Bastian kedapatan berhubungan dengan Fenita teman sekampusnya, Isyana benar-benar terpukul. Tak kurang dari 15 kali ia mencoba mengakhiri hidup.

Saya, sebagai sahabat─sekaligus seseorang yang mencintainya─sungguh sedih. Saya bisa merasakan apa yang Isyana rasakan. Segala kesedihan dan kekecewaannya sama seperti kesedihan dan kekecewaan Ibu yang ditinggal ayah saat saya masih kanak-kanak karena Ayah punya perempuan baru yang menurutnya lebih cantik dari Ibu.

Melihatnya menangis, saya hanya bisa memeluknya sekuat tenaga. Meminjamkan bahu saya untuk kepalanya bersandar. Menemaninya dari pagi hingga pagi lagi. Memberikan kalimat penghiburan dan penyemangat yang sesungguhnya hanya pura-pura. Karena, meski saya tak suka melihatnya bersedih, di sisi lain, saya bahagia karena ia tak memiliki kekasih. Berharap agar hatinya bisa saya miliki.

Tahun berganti hingga akhirnya Isyana bertemu Aji Sastra; laki-laki kedua yang ia cintai. Laki-laki yang bukan hanya kekasihnya namun calon suaminya. Aji ialah rekan kerja saya di kantor. Sayalah yang mengenalkan mereka. Sesungguhnya saya tak puñya maksud apa-apa mengenalkan mereka, apalagi sampai menjodoh-jodohkan. Karena sungguh, saya tak rela hati Isyana dicuri kembali.

Isyana begitu mencintai Aji, saya bukan hanya melihat namun saya bisa merasakan. Cintanya jauh lebih besar ketimbang cintanya pada Bastian dulu. Dan saya begitu membenci Aji. Laki-laki ini telah mencuri cinta Isyana. Sesuatu yang sungguh sàya idamkan sejak dulu; hanya tak bisa saya ungkapkan.

***

Lima hari lagi pernikahan Isyana dan Aji digelar. Isyana yang memang anak dari keluarga Jawa sedang melakukan  tradisi pingitan, Isyana meminta saya menemaninya. Sepanjang hari, sejak tradisi pingitan ia jalani hingga saat ini, tak henti-hentinya Isyana bercerita tentang Aji. Aji Aji dan Aji. Di  pikirannya hanya ada Aji.

Saya yang awalnya menahan diri agar tak terlihat cemburu lama-lama tak tahan. Sudah cukup rasanya saya menahan diri untuk tetap menyimpan perasaan saya pada Isyana.

"Sudah cukup!", bentak saya saat Isyana bercerita tentang romantisnya Aji ketika melamarnya.

"Kamu kenapa? Kok tiba-tiba marah?", Isyana kebingunan melihat saya yang tiba-tiba emosi.

"Aku lelah dengar cerita-cerita kamu tentang Aji! Aji Aji cuma Aji. Aku bosan!"

"Kamu kenapa, sih?" Nggak biasanya kamu begini. Kamu lagi ada masalah?"

"Iya. Masalahku itu kamu,"

"Aku? Maksud kamu apa? Jangan bikin aku bingung", Isyana terlihat semakin bingung.

"Kamu sadar kalau selama ini aku suka sama kamu?", saya sudah tak bisa menahan diri.

"Apa?!!"

"Aku cinta kamu, Isyana," rasa ini harus saya ungkapkan sekarang.

"Kamu gila!"

"Kamu ingat siapa yang selalu ada saat kamu sedih. Saat kamu kacau. Saat kamu terpuruk karena Bastian. Saat kamu merasa nggak berharga karena udah ngasih semuanya ke Bastian. Siapa yang ngasih kamu semangat?" emosi saya naik.

"Lo sakit. Lo gila", Isyana menjauh dari saya.

"Aku cinta kamu, Isyana,"

"Gue minta lo pergi sekarang. Jangan temuin gue lagi. Gue anggap kita nggak pernah kenal!!"

***

Itu kalimat terakhir yang diucapkan Isyana. Sebuah kalimat perpisahan yang menyakitkan. Andai saja saat itu saya bisa menahan diri untuk tidak mengatakan perasaan saya. Andai saja saat itu saya membiarkan perasaan saya tetap mengendap di dalam sana.

Saya tidak hanya kehilangan cinta, saya pun kehilangan persahabatan dengan Isyana.

***

Apa salahnya mencintai sahabat? Apa ada aturan, undang-undang, pasal atau teori yang melarang seseorang mencintai sahabatnya? Saya mencintai sahabat saya.

Kata orang saya salah. Isyana menyebut saya gila. Karena saya mencintai sahabat saya. Karena saya seorang perempuan yang mencintai perempuan.



AB.

No comments: