February 28, 2016

Kejahatan Membalas Dendam(*)

Akhir-akhir ini rasa tidak sukanya pada Arini semakin menjadi. Sudah hampir dua tahun rasa itu Ia pendam. Sebisa mungkin Ia lupakan. Namun rupanya, rasa itu tetap tumbuh, terus tumbuh, semakin lama semakin subur.

Selama ini Ia hanya diam seribu bahasa jika Arini mulai mengoceh panjang lebar. Perihal lantai rumah yang menurutnya kotor; padahal belum sampai sepuluh menit berlalu telah Ia sapu. Perihal rasa semur telur yang menurut Arini terlalu manis, atau terlalu asin, atau hambar sama sekali; padahal sebelum Arini memakannya telah Ia cicipi dan bumbui baik-baik dan rasanya sudah lezat. Perihal perhatian Mada yang menanyainya sudah makan atau belum; perhatian yang menurutnya wajar; sebagai seorang suami, sudah tentu pertanyaan macam tadi ialah wajar ditanyakan untuk sang istri.

Belum lagi saat Arini mulai bergosip tentang Bu Bagyo yang katanya punya affair dengan Pak Kusno, Ayu yang hamil duluan sebelum menikah dengan Ferdian, Mbak Titiek yang berhutang sepuluh juta rupiah pada Novi, dan entah siapa lagi yang Arini ceritakan padanya. Saat Ia mulai berkomentar, sekadar menanggapi perkataannya, Arini kemudian menasehatinya seolah Ia yang memulai bergosip. Arini bilang tak baik menceritakan orang. Benar-benar aneh. Ia semakin kesal. Alasan itulah yang membuat Ia terus-terusan diam. Ia sudah ditahap malas berbicara.

Selama dua tahun ini, Arini semakin hari semakin merebut perhatian Mada, suaminya. Pun Arini semakin 'menguasai' rumah. Arini menggeser posisinya sebagai 'nyonya rumah'.

Bukannya Ia tak marah, hatinya kesal. Sakit. Sungguh. Namun, saat melihat Mada tersenyum saat bersama Arini, Ia tak kuasa melakukan sesuatu. Betapa cintanya Ia pada suaminya. Asalkan suaminya bahagia, selama Ia bisa menyimpan segala ketidaksukaannya pada Arini, Ia yakin bisa bertahan.

Dulu, kehidupannya dengan Mada bahagia. Ia mencintai Mada. Mada mencintainya. Namun, semua berubah ketika Arini datang. Saat itu, di suatu siang, Mada membawa Arini ke rumah; perempuan yang entah dari antah berantah mana, siapa namanya, seperti apa wataknya, Ia tak tahu apa-apa. Kemudian empat kalimat yang menghancurkan hatinya mengalir dari mulut suaminya, "Aku akan menikahi Arini".

Ia sadar Ia bukanlah istri yang sempurna bagi Mada, dan Ia tak pernah berhenti berusaha menjadi istri yang baik. Namun, usahanya tak cukup untuk membuat Mada suaminya setia pada satu hati; hatinya.

Kau mungkin berpikir mengapa Ia tak minta untuk diceraikan, aku pun berpikir demikian. Namun, kau tahu, Ia benar-benar mencintai suaminya yang brengsek itu. Aku tak bisa hidup tanpa Mada katanya. Cih! Perempuan bodoh! Dibutakan cinta. Sudah jelas dikhianati, mengapa masih bertahan. Menyakiti diri sendiri.

Siang itu ketika Ia sedang beristirahat setelah dari pagi melakukan pekerjaan rumah; hal yang semestinya Ia lakukan bersama-sama Arini, namun pada kenyataannya Ia lakukan sendiri karena Arini lebih memilih menonton televisi, Ia mendengar percakapan Mak Edoh dan anak perempuannya Sukaesih dari balik tembok triplek dapur rumahnya. Terang saja, rumah kontrakannya yang kecil, hanya disekat dengan triplek tipis, sudah pasti bisa mendengar percakapan tetangga di sebelahnya.

"Denger-denger, kemarin Arini dari Ki Sopo", suara Mak Edoh berbisik.

"Ki Sopo orang pinter itu Mak?" Sukaesih pun berbisik.

"Iye, sape lagi kalo bukan itu. Tapi lo diem-diem, ye. Kagak enak kalo didenger tetangge"

"Ngapain Mak?" masih berbisik Sukaesih penasaran.

"Ya, ngapain lagi, ngabisin bini tuanya Mada lah" kali ini suara bisikan Mak Edoh hampir tak terdengar.

Kemudian Ia berdeham, pura-pura batuk. Sudah pasti Mak Edoh dan Sukaesih putrinya mendengar suaranya. Bisikan pun berhenti. Yang terdengar hanya bunyi sodet dan wajan yang saling beradu.

Sebenarnya sudah cukup lama Ia mendengar kabar tersebut. Hanya saja tak terlalu Ia pedulikan. Bukan sama sekali tak peduli, Ia hanya berusaha pura-pura tak peduli. Berusaha untuk melupakan. Sesungguhnya hatinya cemas. Setelah suami tercintanya direbut, kini Ia terancam kehilangan nyawa. Diguna-guna Arini dengan bantuan Ki Sopo.

***

Hari pun mulai malam, matahari telah pulang ke barat. Beristirahat setelah seharian melakukan tugasnya. Sama seperti Mada, si mandor pabrik, yang pulang setelah seharian bekerja.

Dengan wajah cerah ceria, Arini menyambut Mada di pintu. Memeluk dan mencium pipi Mada yang berkeringat bercampur debu. Arini memang selalu melakukan itu, mungkin untuk memanas-manasinya.

Dengan manja, Arini mengajak Mada ke meja makan untuk makan malam. Makanan yang dibuatnya untuk suami tercinta dan istri barunya.

"Bu, kamu nggak ikut makan?" tanya Mada saat Arini menyendokan nasi.

"Aku udah makan, tadi keburu laper, makanya makan duluan" jawabnya tanpa berpaling dari sinetron yang ditontonnya.

"Udahlah, Mas. Si Mbak kalo nggak mau makan, nggak usah dipaksa" Arini terdengar kesal.

"Ya sudah, aku makan dulu, ya"

Suara tawa Mada dan Arini dari meja makan memenuhi kontrakan mereka yang sempit. Terkadang rengekan manja Arini. Hatinya semakin panas. Dadanya kembang kempis. Airmatanya menggantung di pelupuk mata. Membayangkan apa yang akan terjadi pada Arini dan Mada suami yang begitu dicintainya, setidaknya beberapa jam ke depan, setelah memakan makanan yang telah Ia bubuhkan bubuk Arsenik.


(*) Tulisan ini sama sekali tidak ada kaitannya dengan naskah drama Kejahatan Membalas Dendam karya Idrus.

2 comments:

SA Copysterz said...

Astafirullah halazim.
Jangan sampe kita punya rasa balas dendam

Eko Sutrisno said...

Kejahatan harusnya dibalas dengan kebaikan