Bila ada yang bilang tidak semua anak yang orangtuanya bercerai tidak bahagia, itu memang betul. Karena pada kenyataannya, tidak sedikit juga anak yang orangtuanya bercerai, hidupnya baik-baik saja.
Beruntunglah mereka—anak-anak yang orangtuanya bercerai—tetap hidup senang dan tenang, karena di luar sana, anak-anak yang orangtuanya bercerai, sedang kebingungan, sedang menderita, sedang putus asa dengan "hidup baru" mereka.
Memang tidak semua anak yang orangtuanya bercerai, hidupnya rusak. Namun yang saya yakini, hampir semua anak yang orangtuanya bercerai, "rusak" secara psikologis—diakui atau tidak.
Mereka yang dengan seenaknya menyebut bahkan melabeli kami,—anak-anak yang orangtuanya bercerai—terlalu mendramatisasi masalah, yang tidak bersyukur, yang cengeng, yang seharusnya ini, yang seharusnya itu, dan yang-yang lainnya, tidak merasakan apa yang kami alami. Bagaimana kami berusaha sekuat tenaga untuk bertahan, setidaknya bertahan bagi adik-kakak, dan diri kami sendiri.
Mereka seenaknya mencontohkan hidup si A atau hidup si D atau hidup si Z—yang juga orangtuanya bercerai, bahkan tidak jarang, mencontohkan hidup anak yang orangtuanya rukun—kemudian membanding-bandingkan. Yang harus diingat, kapasitas setiap manusia menghadapi masalahnya berbeda-beda. Tidak bisa dan sangat tidak adil rasanya bila semua dipukul sama rata.
Ada yang sehari hanya makan sekali dan merasa baik-baik saja. Namun ada juga yang dalam sehari tidak makan daging (padahal makan tiga kali)—dengan lauk yang diganti ikan—akan uring-uringan, merasa dunia begitu tidak adil.
Ya, tulisan ini adalah sedikit dari rasa kesal saya pada mereka; para komentator dadakan. Dengan mudah—dan seenaknya—mengomentari hidup kami—saya—anak yang orangtuanya bercerai. Saya—kami—sama sekali tidak minta untuk dimengerti terlebih dikasihani. Setiap manusia punya masalahnya masing-masing dan, ya, perceraian orangtua adalah salah satu masalah yang kami punya. Bila memang mengerti tidak bisa kamu lakukan, dengan diam dan tidak berkomentar apa-apa sudah lebih dari cukup. Sungguh.
Meski saya akui, mengomentari sesuatu masih sering saya lakukan. Namun "pengalaman" ini membuat saya belajar untuk bisa lebih menahan kata-kata yang keluar dari mulut saya. Yang mungkin, bisa saja kata-kata tersebut menyakiti hati orang lain. Padahal saya sama sekali tidak tahu dan paham dengan hal yang saya komentari tadi.
Saya tetap menjadi "si tukang komentar", hanya saja kata-kata tersebut saya ucap di dalam hati. Mau disebut munafik? Itu terserah persepsi masing-masing. Saya hanya mencoba untuk tidak menyakiti hati orang lain. Karena saya tahu bagaimana tidak enaknya disakiti. Eeeaaa.
(((Eeeaaa)))
2 comments:
Mantap banget , saya suka saya suka..
Intinya harus ada rasa bersyukur ��
Post a Comment