Si Butut yang Pengecut

Aku melihatmu pertama kali sore itu; anak baru, si cantik berpita merah jambu. Kau begitu malu-malu saat datang, kemudian memperkenalkan diri. Semua langsung jatuh hati, terang saja, kau begitu cantik. Siapa yang bisa membenci makhluk cantik sepertimu.

Kita tak pernah saling bertegur sapa. Bukannya aku angkuh atau tak peduli, hanya saja aku tak berani. Kau, si anak baru, si cantik menawan sedang aku, bukan siapa-siapa. Meski begitu, asal kau tahu, aku selalu memerhatikanmu dari jauh.

Aku tahu kau selalu suka diperhatikan. Saat mereka memuja kecantikanmu, kau akan mengeluarkan senyum yang begitu mematikan. Belum lagi dengan kerlingan matamu. Astaga, tak habis pikir aku, ada makhluk secantik kamu.

Aku ingin menceritakan sesuatu padamu. Ini tentang mimpiku semalam. Di sana, kita berjalan berduaan, beriringan sambil menikmati senja. Menertawakan matahari yang buru-buru pulang karena diusir malam. Lagi-lagi, kau mengeluarkan senyum mematikanmu. Dan, hey, suara tertawamu sungguh merdu di telingaku.

Kau tahu, aku jatuh cinta. Pada senyum itu. Pada mata itu. Padamu.

Andai saja aku punya cukup nyali untuk sekadar menyapamu, namun sayang, rupanya aku begitu pengecut. Nyaliku tak sebesar Boot yang berani mengajakmu berkencan minggu lalu.

Mungkin aku memang ditakdirkan bukan untukmu pun sebaliknya. Ya, aku harus tahu diri. Kau takkan mungkin menyukai terlebih mencintaiku. Namun, jika ada yang berani melukai hatimu, aku akan berada paling depan untuk menghajarnya.

Berbahagialah kau dengan Boot, aku telah mengenalnya cukup lama. Ia laki-laki yang baik meski sedikit kekanakan. Dan, kalau boleh, izinkan aku untuk tetap mencintaimu. Kumohon.

Sneakers butut di kolong rak.