Menulis tidak semudah dulu. Saat otak saya
sedang bekerja dengan baik, dalam sehari saya bisa menghasilkan tiga tulisan.
Entah itu cerpen, monolog, atau puisi.
Saya bisa dengan sangat rajin menulis di
blog. Terlebih saat awal-awal kuliah dulu. Meski di saat itu blog saya bagai
sebuah buku harian abege. Apapun yang
saya rasakan akan segera saya tulis.
Meski terkesan asal-asalan dan tidak
terkonsep—isi blog saya sekarang masih tidak berkonsep, namun tulisan saya
zaman itu terasa betul kejujurannya. Bagaimana rasa kesal ketika hari-hari saya
hanya diisi dengan membuat laporan. Bagaimana malu-malu ketika bertemu orang
yang disuka. Bagaimana rasa-mau-mati ketika orang yang disuka tiba-tiba
menghilang. Meski sebagian besar berisi keluhan, namun keluhan tersebut adalah
kejujuran yang saya utarakan—dan anehnya dengan sangat jernih saya gambarkan.
Saat ini menulis adalah hal yang sulit saya
lakukan. Banyak sebetulnya hal-hal yang ingin saya tuliskan, namun saya seperti
kehilangan kemampuan untuk menyusun kata demi kata demi menggambarkan perasaan
saya. Dan pada akhirnya hal-hal tadi hilang begitu saja.
Bukannya saya tidak berusaha. Tiap muncul ide
menulis, cepat-cepat saya tuliskan di aplikasi notes ponsel, kadang juga saya
tulis di buku catatan yang saya bawa ke mana-mana. Ketika sedang menulis
seringkali saya terhenti di tengah-tengah. Kata-kata tadi menguap. Katanya
banyak membaca bikin seseorang punya kosakata jauh lebih banyak dibanding
mereka yang tidak membaca. Namun, rasa-rasanya tidak demikian dengan saya. Apa
selama ini saya kurang membaca?
Pertanyaannya adalah apa yang bikin menulis
jadi bukan hal mudah bagi saya. Apa yang membuat menulis seolah beban. Tidak lagi ada kejujuran di sana; yang ada
hanya ketakutan dan rendah diri.
Takut akan dianggap tidak bisa menulis. Takut
dianggap tidak layak punya blog. Merasa rendah karena tulisan yang dihasilkan
tidak sebagus teman-teman yang lain. Merasa rendah karena bertahun punya blog
tidak ada peningkatan jumlah pembaca. Pada akhirnya yang saya lakukan hanya
membanding-bandingkan.
Di pikiran saya hanyalah bagaimana caranya
membuat tulisan-tulisan bagus. Bagaimana caranya bikin orang-orang takjub
dengan tulisan-tulisan saya. Bagaimana agar orang menganggap saya layak. Jujur
dan tulus dalam menulis seolah 6 sampai 7 tahun lalu hilang. Saya lupa rasanya
menulis karena memang ingin menulis. Saya tidak ingat lagi seperti apa menulis
tanpa berpikir akan dibaca atau tidak. Kemudian saya tersadar, saya bukanlah
seorang Rendra atau Subagio Sastrowardoyo atau Eka Kurniawan. Saya bukan Djenar
Maesa Ayu. Bukan seorang Leila S. Chudori. Bukan juga Haruki Murakami.
Menganggap karya orang lain bagus sah-sah
saja. Namun, tidak dengan meremehkan karya sendiri. Membandingkan tulisan kita
dengan tulisan orang juga tidak dilarang. Namun, lantas jadi rendah diri dan
tidak mau menulis lagi, itu yang tidak boleh. Dan saya sedang belajar
menerapkan kalimat tadi pada diri sendiri.
Saya suka sekali kata-kata Roy Saputra pada
salah satu artikelnya: Ketika kau mulai membandingkan, di situlah kau
kehilangan kebahagiaan.
3 comments:
Ugh. Sama banget, nih. Rasanya agak sukit menemukan kata-kata yang pas untuk apa yg mau dituliskan.
Wah, iya sih kadang2 gue juga pernah kayak gitu. Lalu pas gue baca lagi tulisan2 gue... ternyata emang jelek. Hehehe. Anyway, salam kenal ya! Kayaknya baru pertama kali deh main ke sini. \(w)/
Haiiii penuliss favoriteku si ratu aksara dengan berbagai kosakatanyaa. Tertiba dijam ini ku punya kerinduan membuka rumahku yang sudah usang. Dan ku membaca nasihat yang dikau tinggalkan untuk tetap menulis! Tapi nyatanya ku sudah lama tak menghidupinya. Apakah aku harus melakukan art therapyku yang satu ini lagi? Hihihihi
Post a Comment